Untuk mengetahui fokus dan tujuan pembinaan secara operasional, maka
perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang menunjukkan
seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika sebuah program
pembinaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada
aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya; masyarakat kurang
mampu) yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hasmaeni dan Riley (Suharto,
2004) mengembangkan delapan indikator, yang mereka sebut sebagai
empowerment index atau indeks pembinaan. Keberhasilan pembinaan
masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut
kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan
kemampuan kultural politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat
dimensi kekuasaan, yaitu ; kekuasaan di dalam (power with in),
kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan
dengan (power within).
Menurut Sumodiningrat (2002, dalam Sulistyaningsih, 2004: 82) Pembinaan
tidak selamanya, melainkan dilepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga
agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pembinaan
melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.
Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap
dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus
menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Menurut Wiranto (1999), pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat dan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi
penduduk kategori miskin untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang
produktif, sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi
dan pendapatan yang lebih besar. Dengan demikian, pembinaan masyarakat
pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan akses bagi individu,
keluarga dan kelompok masyarakat terhadap sumber daya untuk melakukan
proses produksi dan kesempatan berusaha. Untuk dapat mencapai hal
tersebut diperlukan berbagai upaya untuk memotivasi dalam bentuk antara
lain bantuan modal dan pengembangan sumber daya manusia.
Untuk mengelola sumber daya tersebut, menurut Tikson (2001), model
pembangunan (community development/CD) merupakan alternatif yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan. Di
mana sasaran utama CD adalah menolong masyarakat untuk meningkatkan
kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di daerah dengan potensi dan
sumber daya yang dimilikinya. Hasil akhir dari CD ini adalah terciptanya
masyarakat yang mandiri atau masyarakat yang mampu menciptakan prakarsa
sendiri (self propelling) dan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan
lingkungan (sustainable economic growth) dengan menggunakan sumber daya
yang ada.
Sejalan dengan itu, Gany (2001) juga berpendapat bahwa konsep pembinaan
dapat dilihat sebagai upaya perwujudan interkoneksitas yang ada pada
suatu tatanan dan atau penyempurnaan terhadap elemen tatanan yang
diarahkan agar suatu tatanan dapat berkembang secara mandiri. Dengan
kata lain, pembinaan adalah upaya-upaya yang diarahkan agar suatu
tatanan dapat mencapai suatu kondisi yang memungkinkannya membangun
dirinya sendiri.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka dalam aktivitas pembinaan
terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangannya
yaitu :
- Pengetahuan dasar dan keterampilan intelektual (kemampuan menganalisis hubungan sebab akibat atas setiap permasalahan yang muncul).
- Mendapatkan akses menuju ke sumber daya materi dan non materi guna mengembangkan produksi maupun pengembangan diri mereka.
- Organisasi dan manajemen yang ada di masyarakat perlu difungsikan sebagai wahana pengelolaan kegiatan kolektif pengembangan mereka.
Oleh karena itu, pembinaan adalah upaya untuk mendorong dan memotivasi
sumber daya yang dimiliki serta berupaya mengembangkan dan memperkuat
potensi tersebut yaitu penguatan individu dan organisasi dengan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki. Pembinaan masyarakat
juga ditujukan untuk mengikis fenomena kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar