Rabu, 15 Januari 2014

tujuan pembinaan

Tujuan Pembinaan 
Untuk mengetahui fokus dan tujuan pembinaan secara operasional, maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika sebuah program pembinaan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (misalnya; masyarakat kurang mampu) yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hasmaeni dan Riley (Suharto, 2004) mengembangkan delapan indikator, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pembinaan. Keberhasilan pembinaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu ; kekuasaan di dalam (power with in), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan dengan (power within).
Menurut Sumodiningrat (2002, dalam Sulistyaningsih, 2004: 82) Pembinaan tidak selamanya, melainkan dilepas untuk mandiri, meski dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Dilihat dari pendapat tersebut berarti pembinaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Menurut Wiranto (1999), pembinaan merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk kategori miskin untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang produktif, sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih besar. Dengan demikian, pembinaan masyarakat pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan akses bagi individu, keluarga dan kelompok masyarakat terhadap sumber daya untuk melakukan proses produksi dan kesempatan berusaha. Untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan berbagai upaya untuk memotivasi dalam bentuk antara lain bantuan modal dan pengembangan sumber daya manusia.
Untuk mengelola sumber daya tersebut, menurut Tikson (2001), model pembangunan (community development/CD) merupakan alternatif yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya masyarakat pedesaan. Di mana sasaran utama CD adalah menolong masyarakat untuk meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat di daerah dengan potensi dan sumber daya yang dimilikinya. Hasil akhir dari CD ini adalah terciptanya masyarakat yang mandiri atau masyarakat yang mampu menciptakan prakarsa sendiri (self propelling) dan pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan (sustainable economic growth) dengan menggunakan sumber daya yang ada. 
Sejalan dengan itu, Gany (2001) juga berpendapat bahwa konsep pembinaan dapat dilihat sebagai upaya perwujudan interkoneksitas yang ada pada suatu tatanan dan atau penyempurnaan terhadap elemen tatanan yang diarahkan agar suatu tatanan dapat berkembang secara mandiri. Dengan kata lain, pembinaan adalah upaya-upaya yang diarahkan agar suatu tatanan dapat mencapai suatu kondisi yang memungkinkannya membangun dirinya sendiri.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka dalam aktivitas pembinaan terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengembangannya yaitu :
  1. Pengetahuan dasar dan keterampilan intelektual (kemampuan menganalisis hubungan sebab akibat atas setiap permasalahan yang muncul).
  2. Mendapatkan akses menuju ke sumber daya materi dan non materi guna mengembangkan produksi maupun pengembangan diri mereka.
  3. Organisasi dan manajemen yang ada di masyarakat perlu difungsikan sebagai wahana pengelolaan kegiatan kolektif pengembangan mereka.
Oleh karena itu, pembinaan adalah upaya untuk mendorong dan memotivasi sumber daya yang dimiliki serta berupaya mengembangkan dan memperkuat potensi tersebut yaitu penguatan individu dan organisasi dengan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki. Pembinaan masyarakat juga ditujukan untuk mengikis fenomena kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar